Materi Seminar Regional DIY-Jateng
“Kesetaraan Gender dari Berbagai Perspektif:
Perempuan antara Fitrah & Tuntutan”
Bagian-4
Sudahkah Kita Tahu …???
Dalam kebanyakan kasus, para mengusung topik Gender ketika menyampaikan beberapa contoh mengenai penderitaan kaum perempuan yang mendapatkan perlakuan semena-mena dan tidak adil, hampir semuanya mengambil contoh-contohnya dari negara miskin serta terbelakang yang kebetulan mayoritasnya beragama islam. Dan saya kira tidak menjadi masalah jika kemudian diikuti dengan penjelasan yang proporsional.
Namun akan menjadi masalah besar manakala membahas kondisi tersebut dan kemudian menarik kesimpulan bahwa syariat islam sangat tidak menghargai wanita. Agama islam akhirnya dituding sebagai agama yang menghinakan wanita dan melecehkan martabatnya. Syariat Islam akhirnya hanya dijadikan biang keladi atas munculnya berbagai masalah yang muncul di negeri-negeri yang notabene mayoritas beragama Islam tersebut.
Benar, seolah-olah mereka menutup mata mereka dan tidak mau ambil pusing serta tidak mempedulikan apakah kondisi yang terjadi itu murni akibat ajaran normatif islam atau karena pengaruh budaya setempat. Karena sesungguhnya ajaran normatif islam itu baku dan memiliki sumber yang jelas, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan kenyataan yang ada bahwa adanya berbagai kasus yang menimpa kaum wanita yang kebetulan terjadi di berbagai negara yang dianggap mewakili komunitas islam sesungguhnya telah jauh melenceng dari ajaran normatif islam dan lebih banyak dipengaruhi oleh budaya setempat. Jika saja mau mengkaji lebih dalam, akan dapat kita temukan betapa ajaran Islam begitu memuliakan wanita, mengangkatnya dari kehinaan jahiliyah. Sebagai buktinya antara lain :
Dilihat Dari Aspek Ritual-Spiritual
Al-Qur’an memberikan bukti yang nyata bahwa wanita benar-benar setara dengan pria di mata Tuhan dalam hal hak dan kewajibannya yang menyertainya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:
{مَنْ عَمÙÙ„ÙŽ صَالÙØًا Ù…Ùنْ ذَكَر٠أَوْ Ø£Ùنْثَى ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ Ù…ÙؤْمÙÙ†ÙŒ ÙÙŽÙ„ÙŽÙ†ÙØْيÙيَنَّه٠Øَيَاةً Ø·ÙŽÙŠÙّبَةً وَلَنَجْزÙيَنَّهÙمْ أَجْرَهÙمْ بÙØ£ÙŽØْسَن٠مَا كَانÙوا يَعْمَلÙونَ}
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.†(QS. An-Nahl : 97)
{Ùَاسْتَجَابَ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ رَبÙّهÙمْ Ø£ÙŽÙ†Ùّي لا Ø£ÙضÙيع٠عَمَلَ عَامÙÙ„Ù Ù…ÙنْكÙمْ Ù…Ùنْ ذَكَر٠أَوْ Ø£Ùنْثَى بَعْضÙÙƒÙمْ Ù…Ùنْ بَعْضم }
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.†(QS. Ali-Imran : 195)
Begitu juga wanita –dalam hal ini Hawa- tidak dipersalahkan didalam nash Al-Qur`an atas kesalahan pertama yang dilakukan oleh Nabi Adam alaihis-salam. Namun keduanya sekaligus dinyatakan bersalah dalam mengingkari ketaatan terhadap Allah `Azza Wa Jalla, dan keduanya memperoleh hukuman atas apa yang mereka perbuat. Alloh `Azza Wa Jalla berfirman :
{قَالَ اهْبÙØ·Ùوا بَعْضÙÙƒÙمْ Ù„Ùبَعْض٠عَدÙوٌّ  وَلَكÙمْ ÙÙÙŠ الأرْض٠مÙسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ ØÙينÙ}
Allah berfirman: “Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan”. (Al-A’raf : 20 – 24).
Kemudian, dalam batasan kewajiban agama, seperti shalat lima, puasa, zakat, haji, kewajiban wanita tidaklah berbeda dengan kewajiban kaum pria. Bahkan dalam beberapa hal, wanita diberikan beberapa keistimewaan yang tidak diberikan kepada kaum pria. Sebagai contohnya, wanita diperbolehkan meninggalkan shalat dan puasa dikala masa haidh dan masa nifasnya. Wanita juga dibolehkan meninggalkan puasa selama masa kehamilan dan menyusui manakala ada kekhawatiran akan membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Jika yang ditinggalkan adalah puasa wajib (puasa Ramadhan), dia boleh mengganti hari yang tertinggal tersebut kapanpun dia sanggup melakukannya. Namun jika yang ditinggalkannya adalah shalat selama memenuhi syarat-syarat di atas, maka tidak perlu baginya untuk menggantinya.
Dilihat Dari Aspek Sosial
Pertama   : Wanita Sebagai Seorang Anak
Syariat Islam memberikan hak hidup sepenuhnya serta sangat mengecam pembunuhan bayi-bayi perempuan hidup-hidup –dengan cara dikubur- seperti yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyah sebelum Islam. Alloh `Azza Wa Jalla berfirman :
{ ÙˆÙŽØ¥Ùذَا الْمَوْءÙودَة٠سÙئÙلَتْ, بÙØ£ÙŽÙŠÙÙ‘ ذَنْب٠قÙتÙلَتْ}
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.†(QS At-Takwir : 8-9)
Syariat Islam juga meluruskan sikap dari beberapa orang tua di zaman sebelum Islam yang terkenal sangat menolak kelahiran anak perempuan serta menganggap bahwa kelahiran anak perempuan adalah sebuah aib keluarga. Disebutkan dalam Al-Qur’an :
 وَإÙذَا بÙØ´Ùّرَ Ø£ÙŽØَدÙÙ‡Ùمْ بÙالأنْثَى ظَلَّ وَجْهÙÙ‡Ù Ù…Ùسْوَدًّا ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ كَظÙيمٌ
يَتَوَارَى Ù…ÙÙ†ÙŽ الْقَوْم٠مÙنْ سÙوء٠مَا بÙØ´Ùّرَ بÙه٠أَيÙمْسÙÙƒÙه٠عَلَى Ù‡Ùون٠أَمْ يَدÙسÙّه٠ÙÙÙŠ التÙّرَاب٠أَلا سَاءَ مَا ÙŠÙŽØْكÙÙ…Ùونَ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.†(QS. An-Nahl : 58-59)
Benar, bahkan hingga saat ini kelahiran anak laki-laki masih dianggap sebagai pelanggeng garis keturunan keluarga. Tak sedikit pula yang menjadikannya penanda kehormatan. Sebaliknya, perasaan sedih dan rasa malu menghantui pasangan yang ‘hanya’ dikaruniai anak perempuan. Padahal dalam Islam, jika kita memiliki anak-anak perempuan yang kita asuh dengan penuh kasih sayang, diperlakukan secara adil, diberikan pendidikan dan pengajaran agama yang baik, maka sesungguhnya Alloh `Azza Wa Jallla telah menjanjikan surga bagi keduanya orang tuanya tersebut. Rasulullah pernah bersabda :
((مَن٠ابْتÙÙ„ÙÙŠÙŽ Ù…Ùنْ Ù‡ÙŽØ°Ùه٠الْبَنَات٠بÙشَيْء٠ÙÙŽØ£ÙŽØْسَنَ Ø¥ÙلَيْهÙÙ†ÙŽÙ‘ ÙƒÙÙ†ÙŽÙ‘ لَه٠سÙتْرًا Ù…ÙÙ†ÙŽ النَّارÙ))
“Barangsiapa yang diberi cobaan dengan anak perempuan kemudian ia berbuat baik pada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.†(HR. Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 2629 ‘Aisyah radiyallohu `anha)
Al-Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa Rasulullah Shallalahu `Alaihi Wasallam menyebutnya disini sebagai ابْتلÙÙŠÙŽ ibtila’ (cobaan), karena biasanya orang tidak menyukai kehadiran anak perempuan. (Lihat: Syarh Shahih Muslim, 16/178)
((مَنْ عَالَ جَارÙيَتَيْن٠Øَتَّى تَبْلÙغَا جَاءَ يَوْمَ الْقÙيَامَة٠أَنَا ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ وَضَمَّ أَصَابÙعَهÙ))
“Barangsiapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa maka ia akan datang pada hari kiamat bersamaku†(Anas bin Malik berkata : Nabi menggabungkan jari-jari jemari beliau) (HR Muslim no.2631 dari Anas bin Malik)
Begitu juga dengan hak wanita untuk mencari ilmu serta mendapatkan pendidikan yang memadai sebagai bekal hidupnya. Syariat Islam tidak pernah sama sekali membedakannya dari kaum laki-laki. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
((طَلَب٠الْعÙلْم٠ÙَرÙيضَةٌ على كل Ù…ÙسْلÙÙ…Ù))
“Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.†(Hadits sahih, diriwayatkan dari beberapa sahabat diantaranya: Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu Anhum. Lihat: Sahih al-jami: 3913).
Dan muslim yang dimaksud disini meliputi laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan bagi laki-laki ataupun perempuan dalam hal mencari ilmu, semuanya diwajibkan. Hanya saja bahwa dalam mencari ilmu itu harus tetap sesuai dengan ketentuan serta batasan Islam.
Kemudian, setelah beranjak dewasa, seorang wanita tidak boleh dipaksa untuk menikah tanpa persetujuan darinya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
لاَتÙنكَØ٠اْلأيّÙÙ…Ù Øَتَّى تÙسْتَأْمَرَ, وَلاَ تÙنْكَØ٠الْبÙكْر٠Øَتَّى تÙسْتَأْذَنَ. قَالÙوْا: وَكَيْÙÙŽ Ø¥ÙذْنÙهَا؟ قَالَ: ((أَنْ تَسْكÙتَ)). ÙˆÙŽÙÙÙ‰ Ù„ÙŽÙْظ٠آخَرَ: ((ÙˆÙŽØ¥ÙذْنÙهَا صÙمَاتÙهَا)). ÙˆÙÙ‰ اللÙظ الثالث: وَالْبÙكْر٠يَسْتَأْذÙÙ†Ùهَا أَبÙوْهَا ÙÙÙ‰ Ù†ÙŽÙْسÙهَا ÙˆÙŽØ¥ÙذْنÙهَا صÙمَاتÙهَا
“Wanita yang sudah pernah menikah (janda) tidak boleh dinikahkan sehingga diminta perintahnya, dan wanita perawan tidak boleh dinikahkan sehingga diminta ijin.’ Mereka bertanya: ‘Bagaimana ijinnya? Beliau menjawab: ‘Ia diam.’ Dan pada lafazh yang lain: ‘Ijinnya adalah diamnya.’ Dan pada lafazh yang ketiga: “Dan wanita perawan, bapaknya meminta ijin kepadanya pada dirinya dan ijinnya adalah diamnya.” (Muttafaqun `Alaihi)
Para wali tidak boleh menikahkan seseorang yang dibawah perwaliannya kecuali dengan ijinnya. Barangsiapa yang menikahkan tanpa ijinnya maka pernikahan itu batal, karena di antara syarat nikah adalah ridha kedua belah pihak. Apabila ia menikahkannya tanpa ridhanya dan memaksanya dengan ancaman atau pukulan, maka pernikahan itu tidak sah.
Kedua      : Wanita Sebagai Seorang Isteri
Dalam syariat Islam, seorang wanita memiliki hak penuh atas maharnya, yaitu hadiah perkawinan yang diberikan oleh suaminya dalam akad perkawinan. Kepemilikan mahar tersebut tidak dapat dipindahkan kepada ayahnya atau suaminya. Dan jika dia diceraikan, dia dapat memperoleh tunjangan dari mantan suaminya di dalam masa iddah-nya.
Dimata syariat, antara suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang sama. Keduanya dituntut untuk senantiasa berkomitmen melaksaksanakan kewajiban mereka masing-masing dan memberikan hak-hak pasangannya dengan sebaik mungkin. Rasululloh Shallollohu `Alaihi Wassalam pernah bersabda :
((ألا إنّ لكم على نسائكم Øقًّا, ولنسائكم Øقًّا))
“Ketahuilah, bahwa kalian memiliki hak –hak atas wanita-wanita (istri-istri) kalian, dan sesungguhnya wanita-wanita (istri-istri) kalian memiliki hak-hak atas kalian†(Diriwayatkan oleh para pemilik Sunan, dan At-Tirmidzi men-shahih-kan hadits ini)
Kemudian, ketika kepemimpinan dalam rumah tangga berada dalam dalam genggaman suaminya, bukan berarti hal ini menunjukkan atas superioritas sang suami di mata syariat. Peran kepemimpinan laki-laki dalam keluarganya tidak berarti seorang suami menjadi diktator atas isterinya. Bahkan Islam menganjurkan dan sangat menekankan akan pentingnya musyawarah dan diskusi untuk memutuskan suatu masalah yang ada dalam sebuah rumah tangga. Al-Qur’an telah memberi kita sebuah contoh :
{… ÙÙŽØ¥Ùنْ أَرَادَا ÙÙصَالا عَنْ تَرَاض٠مÙنْهÙمَا وَتَشَاوÙر٠Ùَلا جÙنَاØÙŽ عَلَيْهÙمَا … }
“…Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.… “ (QS. Al-Baqarah : 233)
Selain itu, keduanya juga diwajibkan untuk saling berlemah lembut, saling menghargai, serta saling menghormati satu sama lain. Dan ini adalah pergaulan baik yang diperintahkan Alloh `Azza Wa Jalla dalam firmanNya :
{وَعَاشÙرÙوهÙÙ†ÙŽÙ‘ بÙالْمَعْرÙÙˆÙÙ ÙÙŽØ¥Ùنْ كَرÙهْتÙÙ…ÙوهÙÙ†ÙŽÙ‘ Ùَعَسَى أَنْ تَكْرَهÙوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّه٠ÙÙيه٠خَيْرًا ÙƒÙŽØ«Ùيرًا}
“Dan bergaullah (para istrimu) dengan mereka secara baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak†(QS. An-Nisaa: 19)
Dan inilah perlakuan baik yang diperintahkan Rasululloh Shallollohu `Alaihi dalam sabdanya :
((وَاسْتَوصÙوا بالنساء٠خيرًا))
“Perlakukanlah wanita dengan baik†(HR. Muslim)
Sampai-sampai jika seandainya seorang istri berbuat nusyuz (keluar dari ketaatan kepada suaminya), maka tidak diperbolehkan sama sekali bagi suami untuk “menyiksa†istrinya dengan alasan apapun juga. Namun disisi lain, Islam tetap membolehkan seorang suami memberikan hukuman kepada sang Istri, tentunya dengan porsi yang telah ditentukan tanpa melampaui batas.
Dalam Islam tuntunannya jelas. Suami boleh memisahkan istrinya itu dari tempat tidurnya. Dan jika itu tidak berhasil maka boleh diberi pukulan dengan syarat tidak memukulnya di bagian wajah, tidak memukulnya dengan pukulan yang dapat menimbulkan luka, apalagi sampai membuat salah satu organ tubuhnya menjadi tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Sebagaimana dalam firmanNya (QS. An-Nisaa : 34) :
وَاللاتÙÙŠ تَخَاÙÙونَ Ù†ÙØ´ÙوزَهÙÙ†ÙŽÙ‘ ÙَعÙظÙوهÙنَّ وَاهْجÙرÙوهÙÙ†ÙŽÙ‘ ÙÙÙŠ الْمَضَاجÙعÙ وَاضْرÙبÙوهÙÙ†ÙŽÙ‘
ÙÙŽØ¥Ùنْ أَطَعْنَكÙمْ Ùَلا تَبْغÙوا عَلَيْهÙÙ†ÙŽÙ‘ سَبÙيلا إÙÙ†ÙŽÙ‘ اللَّهَ كَانَ عَلÙيًّا كَبÙيرًا
“…Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (keluar dari ketaatan kepada suaminya), maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besarâ€
Dan inilah yang juga diperintahkan oleh Rasululloh Shallollohu `Alaihi Wassalam dalam sabdanya
((Ø£ÙŽÙ† تÙطعمَها إذا Ø·ÙŽÙ…Ùعْتَ, Ùˆ تَكْسÙوها إذا اكْتَسَيْتَ, ولا تضْرب٠الوجْهَ, ولا تÙقَبّÙØÙ’, ولا تهْجÙرْ إلا ÙÙŠ البيت))
“Hendaknya engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak boleh memukul wajahnya, tidak boleh menjelak-jelekkannya (mencelanya), dan tidak boleh mendiamkannya kecuali didalam rumahnya†(HR. Abu Dawud)
Ketiga      : Wanita Sebagai Seorang Ibu
Secara umum, Islam memerintahkan para pemeluknya untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Disisi lain, Islam juga memberikan sebuah anjuran khusus untuk berlaku baik kepada sosok seorang wanita dengan berbagai tugas mulia yang diembannya. Dia adalah sosok seorang ibu. Dalam sebuah firmanNya disebutkan :
{وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بÙوَالÙدَيْهÙ  Øَمَلَتْه٠أÙÙ…Ùّه٠وَهْنًا عَلَى وَهْن٠وَÙÙصَالÙÙ‡Ù ÙÙÙŠ عَامَيْن٠…}
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada ibu-bapaknya;  ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang berlipat ganda, serta menyapihnya selama dua tahun.†(QS. Luqman : 14)
جَاءَ رَجÙÙ„ÙŒ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ رَسÙوْل٠الله٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ùَقَالَ : يَارَسÙوْلَ الله٠مَنْ ÙŽØ£Øَقّ٠النَّاسَ بÙØÙسْن٠صَØَابَتÙيْ ØŸ
قَالَ: ((Ø£ÙمّÙÙƒÙŽ)), Ø«Ùمَّ مَنْ ØŸ ((Ø«Ùمَّ Ø£ÙمّÙÙƒÙŽ)) قَالَ: Ø«Ùمَّ مَنْ ØŸ قَالَ: ((Ø«Ùمَّ Ø£ÙمّÙÙƒÙŽ)), قَالَ Ø«Ùمَّ مَنْ ØŸ قَالَ: ثÙمَّ أَبÙوْكَ
Seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan bertanya: “Ya Rasulullah, siapa di antara manusia yang paling berhak aku pergauli degan baik?†Rasulullah menjawab, “Ibumu.†Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?†Rasulullah menjawab, “Ibumu.†Dia bertanya, “Lalu siapa lagi?†Beliau menjawab, “Ibumu.†Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?†Rasulullah menjawab, “Kemudian ayahmu.†(Muttafaqun `Alaihi dari Abu Hurairah)
Telah jelas disini, bagaimanakah petunjuk Islam begitu memuliakan seorang wanita dan bukannya memojokkan serta menghinakannya. Oleh sebab itu, pernah dikatakan :
Menjadi Ibu adalah sebuah karir
24 jam sehari, 7 hari seminggu, sepanjang tahun, sepanjang hidup
Tidak ada cuti, tidak ada gaji, tidak ada bonus, tidak ada uang lembur, dan tidak ada tunjangan
Dan kadang-kadang tidak dihargai
Namun aku bahagia dan bangga dengan tugas itu,
Karena surat tugasku langsung ditandatangani oleh-Nya.
Dilihat Dari Aspek Ekonomi
Islam menetapkan hak kepemilikian independent bagi seorang wanita atas hartanya. Hak-hak wanita terhadap uang dan berbagai jenis kekayaan lainnya diakui secara penuh. Seorang wanita juga memiliki hak penuh untuk membelanjakan, menjual menggadaikan atau menyewakan apa saja dari harta pribadinya. Hak-hak tersebut berlaku secara umum untuk harta yang didapatkan sebelum menikah ataupun sesudahnya.
bersambung…