Minggu, 14 April 2013

Menyusuri Jejak Sejarah Psikologi Islam


 
 
 
 
 
 
Rate This

Ngopi#2
Menyusuri Jejak Sejarah Psikologi Islam

Bertempat di lapangan rumput Fakultas Psikologi UGM hari Kamis 28 April 2011 dimoderatori oleh Garin (2010) dan pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an oleh Reza (2010). Materi disampaikan oleh Pak Bagus Riyono dengan tema jejak sejarah psikologi Islam.
Istilah Psikologi Islam itu sendiri pada awalnya dipicu oleh buku berjudul “Dilema Psikolog Muslim” yang ditulis oleh Pak Malik Badri. Buku ini menggugah para mahasiswa, tidak hanya mahasiswa psikologi saja.
Psikologi Islam bisa dari sejarahnya bisa dipandang sebagai gerakan psikologi Islam kontemporer dan bisa juga dipandang sebagai sejarah psikologi Islam esensial.
Dari segi esensi:
Imam Ghazali telah banyak memikirkan jiwa kemudian beliau menunjukkan pentingnya psikologi Islam. Kemudian ada juga Al Baqi yang telah banyak menulis buku tentang penyakit-penyakit psikologis. Baru-baru ini Pak Malik Badri menuliskannya kembali namun dari segi kognitif.
Masyarakat pelajar (muslim) sangat bersemangat mempelajari fiqih. Dua profesi yang paling populer pada zaman dulu adalah ahli hukum dan ahli kedokteran. Keduanya memang penting, namun ada hal yang lebih penting yaitu bagaimana menjaga kesehatan di dunia dan akhirat.
Keniscayaan dari psikologi Islam menurut Pak Malik Badri, tidak dipungkiri psikolog-psikolog barat. Karena psikologi itu sarat dengan nilai. Rusia sejak awal sudah menolak psikologi Amerika sehingga mereka membentuk psikologi Rusia. Saat ini psikologi sendiri dikuasai Amerika, sehingga nuansa Amerika bisa sangat kental. Indonesia merespon hal itu dengan membentuk Psikologi Indigenous bersama Korea dan China.
Psikologi= indigenous ini dianggap aneh, karena orang Barat menganggap Islam itu universal
Islam= universal
Orang Islam sendiri sering merasa “gamang” terhadap Psikologi Islam. Pertama karena orang Islam terlalu mengagumi psikologi barat. Kedua, karena tidak/ kurang suka pada psikologi Islam. Alasan kedua ini bisa terjadi karena orang itu tidak paham tentang psikologi atau tidak paham tentang Islam.
Orang yang tahu Islam tapi tidak suka psikologi Islam itu karena mereka tidak sadar hidupnya dipengaruhi psikologi. Menurut Pak Malik Badri, hampir semua psikologi barat menyamakan manusia dengan binatang. Sebetulnya kita bisa saja menolak perspektif manusia, tapi tidak menghilangkan terapinya. Karena metode-metode terapinya itu bukan murni dari kebinatangan.
Alkisah, ada seorang pedagang yang sangat tempramental. Kebetulan pembelinya juga suka seenaknya sendiri saat menawar, bahkan berani menawar sampai 1/3 dari harga semula. Karena kesal dengan tingkah pembelinya itu, si penjual kadang sampai mencekik si pembelinya.
Ia sadar bahwa itu tidak baik. Ia marah, tapi ia tahu bahwa marah bisa diredakan dengan berdzikir. Ia melakukannya sendiri dan itu tidak berhasil. Kemudian disuruhnyalah pembeli yang menjengkelkan itu ke rumah untuk mencacimakinya. Ia berhasil untuk tidak marah dengan berdzikir. Lalu disuruh lagi pembeli itu untuk mengundang teman-temannya agar bisa mencacimaki beramai-ramai. Ia pun berhasil tidak marah. Kemudian ia minta pada orang sepasar untuk mencacimaki. Ia berhasil tidak marah lagi. akhirnya penjual itu dikenal sebagai penjual yang paling ramah.
Sebenarnya asumsi dasar psikologi itu tentang hakikat manusia. Freudian mengasumsikan bahwa esensi manusia adalah nafsu amarah, kebinatangan. Behaviorisme: manusia seperti robot. Misal, seperti binatang sirkus. Psikologi Islam: ruh yang ditiupkan ke tubuh, mengalami perjalanan dan kembali ke Islam.http://psikologi islam sejarah
Di dunia akademik mungkin banyak perdebatan dan perlu perjuangan berat untuk psikologi Islam. Paradigma manusia adalah ruh. Sedangkan ruh sendiri masih susah diterima oleh psikologi barat. Spiritual barat, oleh orang barat sendiri dianggap sebagai sebuah ilusi hasil dari kekaauan otak. Islam memandang psikologi sebagai hal yang nyata.
Psikologi Islam tidak berbeda dengan Islam itu sendiri. syariat Islam adalah hukum tentang Islam, ilmu yang berbeda dengan psikologi. Al Ghazali menyatakan bahwa perlu ada ilmu lain, selain ilmu hukum dan kedokteran.
Orang mungkin bisa saja menggunakan fiqih tanpa psikologi Islam, tapi hatinya berarti tidak tersentuh.
Orang yang paling cerdas adalah orang yang ingat mati. Secara empiris ada bukti: Al Ghazali. Beliau sangat cerdas karena sangat mengingat mati. Beliau dikagumi kecerdasannya dari barat hingga timur. Beliau tidak pernah puas dan berhenti belajar karena ingat pada kematian.

Selasa, 19 Maret 2013

Bila Wanita Harus Bekerja & Berkarir

Mengenai hak wanita untuk bekerja, harus ditegaskan sebelumnya bahwa Islam memandang tugas wanita  sebagai ibu dan isteri adalah sebuah peranan yang sangat suci, penting, dan tidak akan bisa tergantikan sama sekali. Sosok pembantu, kehadiran  baby sitter, sama sekali tidak akan dapat menggantikan tugas seorang ibu sebagai pendidik anak yang secara luas membentuk masa depan ummat dan bangsa.
Memang benar, tidak ada satupun ketetapan dalam Islam yang shahih jalur periwayatannya dan sharih (secara jelas) melarang wanita untuk bekerja manakala ada kondisi yang sangat mendesak untuk itu. Misalnya, karena ia adalah seorang janda atau diceraikan suaminya yang harus menghidupi dirinya sendiri, sedangkan pada saat yang sama tidak ada seorangpun yang menanggung kebutuhan ekonominya, dan dia sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk menjaga kehormatan dirinya dari minta-minta dan menunggu uluran tangan orang lain.
Atau terkadang keadaan pihak keluarga yang mengharuskan seorang wanita untuk bekerja,  seperti membantu ayahnya yang sudah berusia lanjut – sebagaimana dalam kisah nabi Musa di negeri Madyan bersama dengan dua orang putri nabi Syuaib, yang menggembalakan kambing ayahnya, seperti dalam Al-Qur’an surat al-Qashash (ayat ke 23) : -
{وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ}
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”
Namun yang harus diperhatikan adalah, jikapun harus bekerja di  luar rumahnya,  seorang wanita dituntut untuk memperhatikan persyaratan sebagai berikut agar usahanya untuk menjemput rezeki tersebut dimudahkan oleh Sang Pemberi Rezeki. Diantaranya :

Pertama    :
Dia haruslah mendapat persetujuan dari kedua orangtuanya/walinya, ataupun suaminya bila telah menikah. Sebab persetujuannya adalah wajib secara Syariat.

Seorang istri juga tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami. Karena hukum asal bagi setiap wanita adalah senantiasa berada  di dalam rumahnya, sebagaimana firmanNya`Azza Wa Jalla,
{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى}
“Dan tinggal-lah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian  dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu…” (QS. Al-Ahzab : 33)
Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali ada kebutuhan.” (Tafsir Al-Quran Al-Adzim: 6/408). Syaikhul Islam berkata, “Tidak halal bagi seorang wanita untuk keluar rumah tanpa izin suaminya, jika ia keluar rumah tanpa izin suaminya, berarti ia telah berbuat nusyuz (durhaka), bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta layak mendapat hukuman.”

Kedua        :
Hendaklah pekerjaan itu bukan pekerjaan yang haram atau bukan pekerjaan yang dapat mendatangkan sesuatu yang haram.

Misalnya pekerjaan menjadi sekretaris pribadi bagi seorang direktur yang membuatnya menjadi sering ber-ikhtilath (bercampur berbaur) dan ber-khalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan pria yang bukan mahramnya. Rasulullah shallallahu `alahi bersabda :
((لا يخلوَنَّ أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثُهما))
“Tidaklah seorang lak-laki bersepi-sepian dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) kecuali setan mejadi yang ketiganya (Shahih Ibnu Hibban: 1/436, At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth: 2/184, dan Al-Baihaqi dalam sunannya : 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah: 1/792 no. 430)
لا يخلوَنَّ رجل بامرأة إلا مع ذي محرم)). فقام رجل فقال: يا رسول الله امرأتي خرجت حاجة واكتتبت في غزوة كذا وكذا))
قال :  ارجع فحج مع امرأتك
“Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kacuali jika bersama dengan mahrom sang wanita tersebut.’ Lalu berdirilah seseorang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada perang ini dan itu,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Kembalilah!, dan berhajilah bersama istrimu.’” (HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim 2/975)

ِKetiga        :
Dia harus dapat menjaga kehormatan serta kemuliaan dirinyanya.

Semaksimal mungkin untuk menutup pintu-pintu fitnah dengan cara menyembunyikan auratnya secara sempurna di hadapan  pria yang bukan mahramnya serta menjauhi hal-hal yang dapat memicu timbulnya fitnah, baik di dalam cara berpakaian, cara berhias, dan lain sebagainya.

Keempat    :
Dia haruslah berkomitmen untuk senantiasa berpegang teguh dengan akhlak wanita shalihah,

Seperti misalnya dengan menjaga sifat malunya, tidak bertingkah genit, serta mendayu-dayu dalam berbicara. Alloh `Azza Wa Jalla berfirman,
{…فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا}
“Maka janganlah sekali-kali kalian melunak-lunakan ucapan sehingga membuat condong orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan berkata dengan perkataan yang ma’ruf/baik”.(QS. Al-Ahzab: 32)

Kelima    :
Hendaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan tabi’at,  kodrat, serta fitrahnya sebagai seorang wanita.

Namun perlu kami tekankan sekali lagi bahwa syariat Islam telah menjamin kehidupan yang tenang dan damai bagi wanita. Kewajiban untuk untuk mencari nafkah demi menghidupi serta menopang perekonomian keluarga hanya dibebankan di atas pundak kaum laki-laki. Semua ini menunjukkan akan besarnya penghormatan Islam terhadap kaum wanita.
Namun menjadi suatu hal yang salah kaprah di zaman ini, hanya karena alasan “eksistensi” dan perasaan “gengsi” untuk tidak mau kalah dengan kaum pria, kemudian beban tersebut diambil alih oleh sang isteri/ wanita dan membiarkan suami bertingkah seolah majikan.
Selanjutnya, Islam sama sekali tidak mengabaikan hak wanita dalam hal warisan. Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan yang sebelum turunnya syariat Islam, keadaan kaum wanita tidaklah lebih dari sebatas objek yang diwariskan. Bagian warisan yang didapat seorang wanita merupakan hak milik pribadinya yang telah diatur dalam syariat Islam secara proporsional.
Perbedaan porsi warisan antara pria dan wanita didalam syariat Islam  pada hakikatnya sejalan dengan perbedaan dalam tanggung jawab keuangan antara pria dan wanita di hadapan hukum Islam. Kaum wanita berhak mendapat separuh dari bagian laki-laki tanpa adanya kewajiban untuk memberikan nafkah. Sementara laki-laki dengan bagian yang lebih besar, yaitu dua kali bagian perempuan,  namun disisi lain dibebani berbagai tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya. Dikatakan dalam firmanNya :
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ
مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa : 7)
Laki-laki dalam Islam bertanggung jawab sepenuhnya untuk menafkahi keluarganya. Kewajiban tersebut tersebut tidak akan pernah lepas dari pundaknya dan tidak akan pernah berkurang hanya karena kekayaan yang dimiliki oleh isterinya yang diperoleh dari hasil bekerja, atau dari berbagai jenis usaha yang dimiliki oleh si istri tersebut.
Dan jikalau kita mau untuk mengkaji lebih dalam lagi, maka akan kita dapatkan bahwa Islam menjunjung tinggi keadilan. Dalam sudut pandang Islam, kehidupan seorang wanita jauh lebih terjamin jika dilihat dari sisi keuangan dan tidak terbebani dengan berbagai jenis tuntutan terhadap harta pribadinya tersebut. Seorang istri juga tidak mempunyai kewajiban untuk menafkahi keluarganya walaupun suaminya adalah seorang yang serba kekurangan secara finansial.
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ…}
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan mereka (laki-laki) atas yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka“ (QS. An Nisa : 34)
Jelas disini bahwa pemberian itu karena dibebankannya kewajiban terhadap laki-laki sebagai pemberi nafkah bagi wanita/keluarganya, sedangkan wanita tidak dikenai kewajiban untuk itu. Telah diriwayatkan dari Mujahid, dari Ummu Salamah radhiallahu `anha bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, mengapa kaum laki-laki dapat berperang, sedang kami tidak, dan kami pun hanya mendapatkan warisan setengah bagian laki-laki.” Maka Allah menurunkan sebuah ayat (QS. An-Nisa : 32) :
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ
وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”. (Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Al-imam Ath-Thabrani)
Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid menjelaskan ayat diatas dengan menukil perkataan Imam Ath-Thabari : “Disebutkan bahwa ayat di atas diturunkan kepada kaum wanita yang merasa iri terhadap kaum lelaki. Mereka menginginkan seperti layaknya kaum laki-laki. Maka Allah melarang hamba-hamba-Nya mengharapkan hal yang bathil dan memerintahkan mereka untuk memohon sebagian dari karunia-Nya. Dan sebuah perasaan iri mengakibatkan pelakunya berbuat hasad dan kedurhakaan tanpa dilandasi kebenaran.” (Lihat: Hirasah Al-Fadhilah)

bersambung…



tahukah anda

Sudahkah Kita Tahu …???

Materi Seminar Regional DIY-Jateng
“Kesetaraan Gender dari Berbagai Perspektif:
Perempuan antara Fitrah & Tuntutan”
Bagian-4

Sudahkah Kita Tahu …???

Dalam kebanyakan kasus, para mengusung topik Gender ketika menyampaikan beberapa contoh mengenai penderitaan kaum perempuan yang mendapatkan perlakuan semena-mena dan tidak adil, hampir semuanya mengambil contoh-contohnya dari negara miskin serta terbelakang yang kebetulan mayoritasnya beragama islam. Dan saya kira tidak menjadi masalah jika kemudian diikuti dengan penjelasan yang proporsional.
Namun akan menjadi masalah besar manakala membahas kondisi tersebut dan kemudian menarik kesimpulan bahwa syariat islam sangat tidak menghargai wanita. Agama islam akhirnya dituding sebagai agama yang menghinakan wanita dan melecehkan martabatnya. Syariat Islam akhirnya hanya dijadikan biang keladi atas munculnya berbagai masalah yang muncul di negeri-negeri yang notabene mayoritas beragama Islam tersebut.
Benar, seolah-olah mereka menutup mata mereka dan tidak mau ambil pusing serta tidak mempedulikan apakah kondisi yang terjadi itu murni akibat ajaran normatif islam atau karena pengaruh budaya setempat. Karena sesungguhnya ajaran normatif islam itu baku dan memiliki sumber yang jelas, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan kenyataan yang ada bahwa adanya berbagai kasus yang menimpa kaum wanita yang kebetulan terjadi di berbagai negara yang dianggap mewakili komunitas islam sesungguhnya telah jauh melenceng dari ajaran normatif islam dan lebih banyak dipengaruhi oleh budaya setempat. Jika saja mau mengkaji lebih dalam, akan dapat kita temukan betapa ajaran Islam begitu  memuliakan wanita, mengangkatnya dari  kehinaan  jahiliyah. Sebagai buktinya antara lain :

Dilihat Dari Aspek Ritual-Spiritual

Al-Qur’an memberikan bukti yang nyata bahwa wanita benar-benar setara dengan pria di mata Tuhan dalam hal hak dan kewajibannya yang menyertainya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:
{مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl : 97)
{فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ… }
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS. Ali-Imran : 195)
Begitu juga wanita –dalam hal ini Hawa- tidak dipersalahkan didalam nash Al-Qur`an atas kesalahan pertama yang dilakukan oleh Nabi Adam alaihis-salam. Namun keduanya sekaligus dinyatakan bersalah dalam mengingkari ketaatan terhadap Allah `Azza Wa Jalla, dan keduanya memperoleh hukuman atas apa yang mereka perbuat. Alloh `Azza Wa Jalla berfirman :
{قَالَ اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ   وَلَكُمْ فِي الأرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ}
Allah berfirman: “Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan”. (Al-A’raf : 20 – 24).
Kemudian, dalam batasan kewajiban agama, seperti shalat lima, puasa, zakat, haji, kewajiban wanita tidaklah berbeda dengan kewajiban kaum pria. Bahkan dalam beberapa hal, wanita diberikan beberapa keistimewaan yang tidak diberikan kepada kaum pria. Sebagai contohnya, wanita diperbolehkan meninggalkan shalat dan puasa dikala masa haidh dan masa nifasnya. Wanita juga dibolehkan meninggalkan puasa selama masa kehamilan dan menyusui manakala ada kekhawatiran akan membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Jika yang ditinggalkan adalah puasa wajib (puasa Ramadhan), dia boleh mengganti hari yang tertinggal tersebut kapanpun dia sanggup melakukannya. Namun jika yang ditinggalkannya adalah shalat selama memenuhi syarat-syarat di atas, maka tidak perlu baginya untuk menggantinya.

Dilihat Dari Aspek Sosial

Pertama    :  Wanita Sebagai Seorang Anak

Syariat Islam memberikan hak hidup sepenuhnya serta sangat mengecam pembunuhan bayi-bayi perempuan hidup-hidup –dengan cara dikubur- seperti yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyah sebelum Islam. Alloh `Azza Wa Jalla berfirman :
{ وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ, بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ}
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS At-Takwir : 8-9)
Syariat Islam juga meluruskan sikap dari beberapa orang tua di zaman sebelum Islam yang terkenal sangat menolak kelahiran anak perempuan serta menganggap bahwa kelahiran anak perempuan adalah sebuah aib keluarga. Disebutkan  dalam Al-Qur’an :
 وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl : 58-59)
Benar, bahkan hingga saat ini kelahiran anak laki-laki masih dianggap sebagai pelanggeng garis keturunan keluarga. Tak sedikit pula yang menjadikannya penanda kehormatan. Sebaliknya, perasaan sedih dan rasa malu menghantui pasangan yang ‘hanya’ dikaruniai anak perempuan. Padahal dalam Islam, jika kita memiliki anak-anak perempuan yang kita asuh dengan penuh kasih sayang, diperlakukan secara adil, diberikan pendidikan dan pengajaran agama yang baik, maka sesungguhnya Alloh `Azza Wa Jallla telah menjanjikan surga bagi keduanya orang tuanya tersebut. Rasulullah pernah bersabda :
((مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ))
“Barangsiapa yang diberi cobaan dengan anak perempuan kemudian ia berbuat baik pada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” (HR. Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 2629 ‘Aisyah radiyallohu `anha)
Al-Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa Rasulullah Shallalahu `Alaihi Wasallam menyebutnya disini  sebagai ابْتلِيَ ibtila’ (cobaan), karena biasanya orang tidak menyukai kehadiran anak perempuan. (Lihat: Syarh Shahih Muslim, 16/178)
((مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا  جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ))
“Barangsiapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa maka ia akan datang pada hari kiamat bersamaku” (Anas bin Malik berkata : Nabi menggabungkan jari-jari jemari beliau) (HR Muslim no.2631 dari Anas bin Malik)
Begitu juga  dengan hak wanita untuk mencari ilmu serta mendapatkan pendidikan yang memadai sebagai bekal hidupnya. Syariat Islam tidak pernah sama sekali membedakannya dari kaum laki-laki. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
((طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ على كل مُسْلِمٍ))
“Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (Hadits sahih, diriwayatkan dari beberapa sahabat diantaranya:  Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu Anhum. Lihat: Sahih al-jami: 3913).
Dan muslim yang dimaksud disini meliputi laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan bagi laki-laki ataupun perempuan dalam hal mencari ilmu, semuanya diwajibkan. Hanya saja bahwa dalam mencari ilmu itu harus tetap sesuai dengan ketentuan serta batasan Islam.
Kemudian, setelah beranjak dewasa, seorang wanita tidak boleh dipaksa untuk menikah tanpa persetujuan darinya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
لاَتُنكَحُ اْلأيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ,  وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ.  قَالُوْا: وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: ((أَنْ تَسْكُتَ)). وَفِى لَفْظٍ آخَرَ: ((وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا)). وفى اللفظ الثالث:  وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوْهَا فِى نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
“Wanita yang sudah pernah menikah (janda) tidak boleh dinikahkan sehingga diminta perintahnya, dan wanita perawan tidak boleh dinikahkan sehingga diminta ijin.’ Mereka bertanya: ‘Bagaimana ijinnya? Beliau menjawab: ‘Ia diam.’ Dan pada lafazh yang lain: ‘Ijinnya adalah diamnya.’ Dan pada lafazh yang ketiga: “Dan wanita perawan, bapaknya meminta ijin kepadanya pada dirinya dan ijinnya adalah diamnya.” (Muttafaqun `Alaihi)
Para wali tidak boleh menikahkan seseorang yang dibawah perwaliannya kecuali dengan ijinnya. Barangsiapa yang menikahkan tanpa ijinnya maka pernikahan itu batal, karena di antara syarat nikah adalah ridha kedua belah pihak. Apabila ia menikahkannya tanpa ridhanya dan memaksanya dengan ancaman atau pukulan, maka pernikahan itu tidak sah.

Kedua        : Wanita Sebagai Seorang Isteri

Dalam syariat Islam, seorang wanita memiliki hak penuh atas maharnya, yaitu hadiah perkawinan yang diberikan oleh suaminya dalam akad perkawinan. Kepemilikan mahar tersebut tidak dapat dipindahkan kepada ayahnya atau suaminya. Dan jika dia diceraikan, dia dapat memperoleh tunjangan dari mantan suaminya di dalam masa iddah-nya.
Dimata syariat, antara suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang sama. Keduanya dituntut untuk senantiasa berkomitmen melaksaksanakan kewajiban mereka masing-masing dan memberikan hak-hak pasangannya dengan sebaik mungkin. Rasululloh Shallollohu `Alaihi Wassalam pernah bersabda :
((ألا إنّ لكم على نسائكم حقًّا, ولنسائكم حقًّا))
“Ketahuilah, bahwa kalian memiliki hak –hak atas wanita-wanita (istri-istri) kalian, dan sesungguhnya wanita-wanita (istri-istri) kalian memiliki hak-hak atas kalian” (Diriwayatkan oleh para pemilik Sunan, dan At-Tirmidzi men-shahih-kan hadits ini)
Kemudian, ketika kepemimpinan dalam rumah tangga berada dalam dalam genggaman suaminya, bukan berarti hal ini menunjukkan atas superioritas sang suami di mata syariat. Peran kepemimpinan laki-laki dalam keluarganya tidak berarti seorang suami menjadi diktator atas isterinya. Bahkan Islam menganjurkan dan sangat menekankan akan pentingnya musyawarah dan diskusi untuk memutuskan suatu masalah yang ada dalam sebuah rumah tangga. Al-Qur’an telah memberi kita sebuah contoh :
{… فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا … }
“…Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.… “ (QS. Al-Baqarah : 233)
Selain itu, keduanya juga diwajibkan untuk saling berlemah lembut, saling menghargai, serta saling menghormati satu sama lain. Dan ini adalah pergaulan baik yang diperintahkan Alloh `Azza Wa Jalla dalam firmanNya :
{وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ  فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا}
“Dan bergaullah (para istrimu) dengan mereka secara baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS. An-Nisaa: 19)
Dan inilah perlakuan baik yang diperintahkan Rasululloh Shallollohu `Alaihi dalam sabdanya :
((وَاسْتَوصُوا بالنساءِ خيرًا))
“Perlakukanlah wanita dengan baik” (HR. Muslim)
Sampai-sampai jika seandainya seorang istri berbuat nusyuz (keluar dari ketaatan kepada suaminya), maka tidak diperbolehkan sama sekali bagi suami untuk “menyiksa” istrinya dengan alasan apapun juga. Namun disisi lain, Islam tetap membolehkan seorang suami memberikan hukuman kepada sang Istri, tentunya dengan porsi yang telah ditentukan tanpa melampaui batas.
Dalam Islam tuntunannya jelas. Suami boleh memisahkan istrinya itu dari tempat tidurnya. Dan jika itu tidak berhasil maka boleh diberi pukulan dengan syarat tidak memukulnya di bagian wajah, tidak memukulnya dengan pukulan yang dapat menimbulkan luka, apalagi sampai membuat salah satu organ tubuhnya menjadi tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.  Sebagaimana dalam firmanNya (QS. An-Nisaa : 34) :
وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ  وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ  وَاضْرِبُوهُنَّ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“…Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (keluar dari ketaatan kepada suaminya), maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”
Dan inilah yang juga diperintahkan oleh Rasululloh Shallollohu `Alaihi Wassalam dalam sabdanya
((أَن تُطعمَها إذا طَمِعْتَ, و تَكْسُوها إذا اكْتَسَيْتَ, ولا تضْربِ الوجْهَ, ولا تُقَبِّحْ, ولا تهْجُرْ إلا في البيت))
“Hendaknya engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak boleh memukul wajahnya, tidak boleh menjelak-jelekkannya (mencelanya), dan tidak boleh mendiamkannya kecuali didalam rumahnya” (HR. Abu Dawud)

Ketiga        : Wanita Sebagai Seorang Ibu

Secara umum, Islam memerintahkan para pemeluknya untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Disisi lain, Islam juga memberikan sebuah anjuran khusus untuk berlaku baik kepada sosok seorang wanita dengan berbagai tugas mulia yang diembannya. Dia adalah sosok seorang ibu. Dalam sebuah firmanNya disebutkan :
{وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ   حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ …}
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada ibu-bapaknya;   ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang berlipat ganda, serta menyapihnya selama dua tahun.” (QS. Luqman : 14)
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَارَسُوْلَ اللهِ مَنْ َأحَقُّ النَّاسَ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ ؟
قَالَ: ((أُمُّكَ)), ثُمَّ مَنْ ؟ ((ثُمَّ أُمُّكَ)) قَالَ: ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ: ((ثُمَّ أُمُّكَ)), قَالَ ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ:  ثُمَّ أَبُوْكَ
Seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan bertanya: “Ya Rasulullah, siapa di antara manusia yang paling berhak aku pergauli degan baik?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Lalu siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab, “Kemudian ayahmu.” (Muttafaqun `Alaihi dari Abu Hurairah)
Telah jelas disini, bagaimanakah petunjuk Islam begitu memuliakan seorang wanita dan bukannya memojokkan serta menghinakannya. Oleh sebab itu, pernah dikatakan :
Menjadi Ibu adalah sebuah karir
24 jam sehari, 7 hari seminggu, sepanjang tahun, sepanjang hidup
Tidak ada cuti, tidak ada gaji, tidak ada bonus, tidak ada uang lembur, dan tidak ada tunjangan
Dan kadang-kadang tidak dihargai
Namun aku bahagia dan bangga dengan tugas itu,
Karena surat tugasku langsung ditandatangani oleh-Nya.

Dilihat Dari Aspek Ekonomi

Islam menetapkan hak kepemilikian independent bagi seorang wanita atas hartanya. Hak-hak wanita terhadap uang dan berbagai jenis kekayaan lainnya diakui secara penuh. Seorang wanita juga memiliki hak penuh untuk membelanjakan, menjual menggadaikan atau menyewakan apa saja dari harta pribadinya. Hak-hak tersebut berlaku secara umum untuk harta yang didapatkan sebelum menikah ataupun sesudahnya.

bersambung…



takwa

Taqwa Sebagai Pembeda


Materi Seminar Regional DIY-Jateng
“Kesetaraan Gender dari Berbagai Perspektif:
Perempuan antara Fitrah & Tuntutan”
Bagian-3


Taqwa Sebagai Pembeda

Islam dengan sempurna telah mengatur Gender Relation diantara umatnya. Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing. Secara fitrah, penciptaan laki-laki dan perempuan memang berbeda baik secara fisik maupun secara psikis, sehingga sangatlah logis bila ternyata terdapat perbedaan hak serta kewajiban yang yang dibangun diatas perbedaan fitrah nya masing-masing.
Namun, adanya perbedaan ini bukan berarti menjadikan salah satu lebih superior dibandingkan yang lain. Karena semuanya sama dan yang membedakannya hanyalah derajat ketakwaan serta ketundukannya dibawah syariat Rabbnya.
{…إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ…}
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu . QS. Al-Hujurat :13
Kemudian, semua dari mereka baik yang laki-laki maupun yang perempuan tanpa terkecuali akan diganjar dengan seadil-adilnya sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.
{مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan . QS. An-Nahl : 97
{مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلا يُجْزَى إِلا مِثْلَهَاوَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ}
“Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab“ . QS. Al-Mu’min : 40
Kedua, bahwa baik baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kedudukan yang sama dimata hukum, seperti firmanNya :
{وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ}
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.  QS. Al-Maidah : 5
{الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ…}
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera…(QS. An-Nur : 2)
Jadi harus kita pertegas disini berdasarkan dalil-dalil yang ada bahwa perbedaan hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan wanita sama sekali tidak mengakibatkan perbedaan derajat mereka dihadapan Allah `Azza Wa Jalla. Hanya tingkat ketakwaan, tingkat keshalihan, serta besarnya  usaha yang mereka lakukan secara sungguh-sungguh dalam memenuhi hak dan kewajibannya itulah yang akan jadi penentu derajat mereka dihadapan Tuhannya.
{وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالأنْثَى, إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى, وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى, فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى, وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى, وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى, فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى}
…Demi penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar . QS. Al-Lail : 3-10
Tidak diragukan lagi berdasarkan penggalan beserta dengan kelanjutan dari ayat diatas dapat kita simpulkan  bahwa kewajiban Allah adalah memberikan petunjuk dan hidayah. Sedangkan yang membedakan antara golongan laki-laki dengan golongan perempuan adalah usaha mereka untuk memperoleh petunjuk dan hidayah tersebut. Masing-masing telah disiapkan bagiannya menurut usaha serta amalannya masing-masing.
{وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ …}
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…. QS. An-Nisa : 32

bersambung…




islam proposional

Proposionalitas Syariat Islam

Materi Seminar Regional DIY-Jateng
“Kesetaraan Gender dari Berbagai Perspektif:
Perempuan antara Fitrah & Tuntutan”
Bagian-2

Proposionalitas Syariat Islam 

Islam adalah agama yang sempurna.  Syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan umatnya dengan hukum-hukumnya yang proporsional. Semesta alam beserta isinya diciptakan menurut kadarnya masing-masing. Alloh `Azza Wa Jalla yang Maha Bijaksana (Al-Hakiim) dan Maha Mengetahui (Al-Aliim) adalah dzat yang maha mengetahui atas segala apa yang Dia ciptakan serta hal-hal yang dapat mengantarkannya kepada kebaikannya. Jadi, sungguh sangatlah sia-sia jika ada seorang manusia yang mencoba untuk menggugat aturan yang digariskanNya dengan mengandalkan logika beserta akal pikirannya yang serba terbatas.
Mari kita renungi bersama, bagaimana mungkin seorang anak manusia dengan segala keterbatasannya meragukan kebijaksanaan Tuhannya yang telah menciptakan ?!?
Bagaimana mungkin seorang anak manusia yang maha lemah akan merasa mampu untuk mengkritisi Tuhan Yang Maha Kuat, Tuhan Yang Maha Hidup lagi terus menerus mengurus mahluknya ?!?
Bagaimana mungkin seorang anak manusia yang diciptakan hanya dari setitik air yang hina dina akan mampu untuk menandingi kebijaksanaan Tuhannya yang maha menguasai setiap sendi kehidupan ?!?
Sesungguhnya tidak akan pernah ada, dan tidak perlu adanya perdebatan mengenai masalah kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, jika seandainya semua dari kita yang mengaku beriman keapada Alloh dan RasulNya berpegang teguh pada aturan yang ditetapkan Allah  `Azza wa Jalla.
Namun ketika ketika kita hidup dizaman dimana tolak ukur keberhasilan bagi seorang perempuan hanya diukur dari kedudukan yang sama, peran yang sama, dan kesetaraan di segala bidang antara laki-laki dan perempuan di setiap sendi kehidupan dunia, dan bukan diukur dari  keridhaan Allah `Azza Wa Jalla, maka yakinlah bahwa keburukan akan segera melanda.
Racun kesetaraan gender yang dihembuskan oleh dunia barat telah menghancurkan institusi keluarga sebagai madrasah pertama bagi tarbiyah sebuah peradaban. Dampaknya sudah sangat jelas dan dapat terlihat dengan meningkatnya angka perceraian dan meningkatkatnya jumlah single parent. Kemudian dari sisi akhlak dan moral adalah semakin merajelalanya fenomena degradasi serta kebejatan moral, karena keharmonisan keluarga yang seharunya menjadi benteng pertahanan pertama dan terakhir telah hancur dan digantikan oleh individualisme.
Dan seorang muslimah yang berusaha untuk menggali khasanah akan dapat memahami bahwa  tidak ada kesetaraan mutlak dalam hal hak dan kewajiban antara pria dan wanita. Kesetaraan gender dalam islam pada hakikatnya adalah kesetaran dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban dengan cara yang ma’ruf dan proporsional sesuai dengan syariat Ilahi. Dan ketika konsep tersebut dapat dipahami dengan baik dan benar, maka pada akhirnya nanti akan dapat  akan melahirkan gender relation yang harmonis, yang penuh pengertian, yang saling menghargai akan posisi masing-masing, sehingga pada akhirnya nanti akan tercipta keluarga utuh yang akan menjadi wadah pertumbuhan generasi yang berakhlak mulia dan sesuai dengan tuntunan nilai-nilai ilahi.
Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu ketika memahami kesetaraan dalam hak dan kewajiban antara pria dan wanita adalah bersifat mutlak, maka percayalah bahwa yang terjadi nantinya justru akan memicu terjadinya konflik, persaingan, dan rasa superioritas satu pihak atas pihak lainnya. Dan sungguh, jika manusia hanya menjadikan akal pikirannya yang serba terbatas untuk menuruti hawa nafsunya yang tidak terbatas sebagai hujjah, maka yang akan didapatkan nantinya hanyalah  ketergelinciran dari kebenaran yang nyata. Allohu `Alam…

bersambung…


persamaan gender

Wanita Itu …



Materi Seminar Regional DIY-Jateng
“Kesetaraan Gender dari Berbagai Perspektif:
Perempuan antara Fitrah & Tuntutan”


Wanita itu …

Wanita adalah mahluk yang diciptakan Allah `Azza Wa Jalla  dengan berbagai kekhasan beserta dengan kodrat yang menyertainya. Wanita diciptakan dengan berbagai fitrah yang menjadikannya mulia dengan fitrah tersebut. Dan tidak akan ditemukan dalam hukum Islam satu nash-pun yang menunjukkan bahwa wanita berkedudukan rendah hanya karena dia diciptakan sebagai seorang wanita.
Namun yang sangat disayangkan adalah ketika wanita kurang menyadari hal ini. Ketika tatanan nilai mulai mengalami pergeseran. Ditambah lagi dengan berkembangnya arus pemikiran sekuler serta merambahnya globalisasi di setiap sendi kehidupan telah merubah perpepsi mereka akan sosok wanita yang ideal dimata mereka. Mereka menganggap bahwa wanita baru dianggap memiliki “arti” ketika mereka berhasil memperoleh posisi yang “sama” dengan pria.
Suatu hal yang awalnya adalah sebuah kelaziman telah dipandang sebagai sebuah keterbelakangan dan kemunduran. Suatu hal yang awalnya diterima dengan keyakinan penuh terhadap ajaran agama, kini menjadi sesuatu yang diperdebatkan tiada hentinya.

 Ada Apa Dengan Wanita …

Ketahuilah wahai saudariku Muslimah !
Wanita dalam Islam menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam sebuah keluarga. Wanita –terutama seorang ibu- adalah madrasah pertama yang akan membentuk akhlak dan pribadi generasi penerus ummat ini. Sampai-sampai dikatakan bahwa ibu adalah tiang berdirinya negara. Sejarah telah membuktikan bahwa maju mundurnya sebuah bangsa sangat ditentukan oleh andil besar kaum ibu.
Benar, ketika para wanita di suatu bangsa telah mengalami kehancuran secara moral, maka kehancuran bangsa tersebut tinggal menunggu waktunya saja. Marilah kita melihat sejenak keadaan yang terjadi di negara-negara barat yang selama ini begitu bersemangat dalam menggagas serta menggerakan feminisme dan kesetaraan gender. Generasi yang dilahirkannya disana semakin brutal dan bobrok. Degradasi moral yang terjadi semakin mengkhawatirkan. Sangat sulit sekali kita dapatkan seorang gadis belia berusia belasan tahun masih terjaga kesucian serta kehormatannya !!!
Benar, orang-orang yang selama ini meneriakkan kebebasan dan persamaan hak serta menganggap bahwa wanita senantiasa diperlakukan secara tidak adil di dalam ajaran Islam, sesungguhnya mereka sangat menyadari hal tersebut !! Tapi sayangnya, justru sebagian dari kita sendiri yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan suka rela membiarkan dirinya diperalat musuh-musuh Islam dengan pemikiran sekuler yang dihembuskan kedalam otaknya.
Dengan dalih keadilan serta kesetaraan, mereka mengatakan bahwa wanita pada dasarnya tidak serta merta identik dengan urusan domestik, akan tetapi agama, budaya, serta kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat-lah yang menempatkan dia pada posisi itu. Akibatnya, ketika dijumpai nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits yang shahih menetapkan peran dan batasan-batasan bagi seorang wanita, maka dianggapnya hal tersebut sebagai sebuah bias gender. Sehingga dengan lancangnya sebagian dari mereka merasa perlu untuk me-reinterpretasi nash yang telah datang dari Alloh `Azza wa Jalla dan RasulNya tersebut agar sesuai dengan pemahaman gender. Atau terkadang mereka juga mengatakan bahwa interpretasi/ penafsiran yang mengikuti salafush shaleh adalah ketinggalan jaman atau karena dipengaruhi oleh budaya Arab yang patriarkis sehingga lebih menguntungkan kaum pria. Padahal kalo kita mau mengkaji secara mendalam, akan kita temukan bahwa Islam sendiri telah mengangkat derajat kaum wanita dan memuliakannya.
Padahal, ketika kita mendapatkan sebuah penyimpangan dalam masyarakat, dimana posisi wanita tampak lemah, terdholimi, dan lebih sering menjadi korban kekerasan dan pelecehan, maka bukan berarti bukanlah syariat itu yang perlu diinterpretasi kembali, melainkan umat inilah yang memerlukan pendidikan agar dapat memahami dan mengamalkan agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan benar, menurut pemahaman salafush-shaleh.
Dan Maha Suci Allah yang telah menciptakan alam semesta ini dengan sebaik-baik penciptaan !! Seandainya kita mau mencermati segala yang terjadi di sekitar kita. Perputaran siang dan malam, datangnya matahari dan bulan yang silih berganti, tidak berarti menunjukkan superioritas antara yang satu terhadap yang lainnya. Tiap entitas dengan karekteristik dan kekhasannya masing-masing memiliki peran yang tidak bisa saling menggantikan. Tiap entitas dibutuhkan kehadirannya sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing.
Sama halnya juga dengan penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya perbedaan peran dan tanggungjawab yang dibebankan kepadanya oleh Alloh `Azza Wa Jalla adalah sebagai konsekuensi atas kekhasan penciptaannya masing-masing agar dapat saling mengisi dan melengkapi, dan bukannya untuk saling menggantikan, atau bahkan saling bersaing di setiap bidang kehidupan sebagaimana yang diwacanakan oleh para penggiat kesetaraan gender.
Sesungguhnya perbedaan peran dan tanggungjawab antara pria dan wanita yang dibebankan oleh Alloh `Azza Wa Jalla sama sekali tidak menyiratkan ‘supermasi’ pria terhadap wanita. Perbedaan ini lebih menyiratkan pada peran “saling mengisi” dari keduanya dalam kehidupan ini. Maka dari itulah Alloh `Azza Wa Jalla menciptakan manusia beserta dengan pasangannya untuk saling mengisi dan melengkapi. Allah Subhaanahu Wa Ta`ala berfirman :
{وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأنْثَى}
“dan Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.” (QS. An-Najm: 45)
{وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا}
“dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan,” (QS An-Naba: 8)
Sangatlah jelas disini akan hikmah diciptakannya manusia dalam keadaaan berpasangan, dikarenakan bahwa jenis laki-laki tidaklah sama dengan jenis perempuan, sebagaimana yang perkataan isteri Imran yang disebutkan Allah di dalam Al-Qur’an:
{وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأنْثَى}
“dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS Al-Imran: 36)
Allah `Azza Wa Jalla telah mentakdirkan adanya perbedaan dalam penciptaan laki-laki dan perempuan. Mereka jelas berbeda dari sisi postur tubuh dan susunan anggota badan. Kaum laki-laki memiliki kesempurnaan dalam kekuatan yang dimilikinya. Sedangkan perempuan lebih lemah dari segi penciptaan bentuk tubuh dan tabiat alamiahnya dikarenakan para perempuan mengalami haidh, mengandung, melahirkan dan menyusui, sampai dengan menopause. Masing-masing dari lelaki dan wanita memiliki lingkup pekerjaan yang sesuai dengan fisik mereka. Oleh sebab itulah kemudian datang peringatan tegas yang melarang dari perbuatan tasyabbuh (meniru/menyerupai) salah satunya terhadap yang lain. Didalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu ‘Abbas pernah berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الْمُتَشَبِّهيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجاَلِ
“Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.”
Nah, perbedaan bentuk penciptaan ini pun disertai dengan perbedaan beberapa hukum syariat, termasuk perbedaan posisi dan peran mereka di dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, dimana kaum laki-laki mendominasi sektor publik, dan wanita lebih diutamakan pada sektor domestik untuk meletakkan landasan pendidikan dan pembinaan akhlak anak di masa dini yang akan sangat menentukan masa depan umat. Dan sekali lagi hal ini bukanlah sebuah kekalahan wanita atas kaum pria !! Tidak sama sekali …!!
Lalu pertanyaannya sekarang adalah, dimana letak Islam yang katanya bias gender, ketika pembagian hak dan kewajiban bagi laki-laki dan  perempuan telah ditetapkan oleh Allah Sang Pencipta berdasarkan fitrahnya penciptaannya masing-masing?
Apakah hanya karena ingin meraih emansipasi dan kesetaraan gender lalu kita lebih memilih untuk mengekor berbagai teori buatan barat ?!?, atau mentakwil nash-nash yang datang dari Al-Qur`an maupun dari as-Sunnah agar dirasa sesuai dengan hawa nafsu kita ?!?, atau bahkan meninggalkan hukum-hukum syar’i yang digariskan Allah `Azza Wa Jalla !!?
Bukankah kewajiban kita hanyalah taat terhadap apa yang telah digariskan-Nya ??? Dan bukannya memasrahkan diri kita pada ideologi buatan manusia yang akan senantiasa berubah seiring dengan perkembangan pemikiran manusia.  Allah Subhaanahu Wa Ta`ala berfirman :
{أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ}
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.”
(QS. Al-A’raf : 54).
Lalu mengapa kaum wanita mesti iri hati terhadap kelebihan yang diberikan kepada kaum laki-laki sehingga begitu berambisi untuk menyamai serta menyaingi mereka?

bersambung…


Seminar Gender

“Kesetaraan Gender dari Berbagai Perspektif: Perempuan antara Fitrah dan Tuntutan”

“Kesetaraan Gender dari Berbagai Perspektif: Perempuan antara Fitrah dan Tuntutan”

“Kesetaraan Gender dari Berbagai Perspektif:
Perempuan antara Fitrah dan Tuntutan”

Seminar Regional Se‐Jateng‐DIY yang diselenggarakan oleh Lembaga Dakwah Kampus Koprs Dakwah Universitas Islam Indonesia (KODISIA) yang berada di bawah naungan Rektorat Universitas Islam Indonesia ini akan dilaksanakan, insyaAllah, pada hari Sabtu, 22 Desember 2012. Adapun tema yang diangkat dalam seminar ini adalah tentang “Kesetaraan Gender dari Berbagai Perspektif: Perempuan antara Fitrah dan Tuntutan”.
Dalam seminar ini, materi akan disampaikan oleh tiga orang pembicara yang ahli di bidangnya masing‐masing. Sebagai pemateri pertama, ada Ibu Dr. Aroma Elmina Martha, SH, MH yang akan menyampaikan materi tentang “Fenomena Gender Lintas Negara”. Dalam materi tersebut, beliau akan membahas tentang fenomena gender yang menyangkut tentang perempuan di beberapa Negara di dunia. Selain itu, beliau juga akan membahas pula kasus Manohara yang beberapa waktu lalu sempat heboh di media dan perlindungan hukum terhadap perempuan. Beliau sendiri, merupakan Dosen Tetap di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dengan konsentrasi Hukum Pidana. Dalam Disertasi beliau di Universitas Indonesia, beliau mengangkat tema tentang KDRT yang dialami oleh perempuan dan memperbandingkan UU PKDRT di Indonesia dengan Malaysia. Selain itu, beliau juga aktif di Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia.
Untuk pemateri kedua akan dibawakan oleh Bapak Thobagus Muhammad Mu’man, S.Psi, Psi dengan tema “Perempuan Korban Budaya?”. Dalam materi ini, beliau akan menyampaikan tentang kajian psikologi terhadap perempuan. Selain itu, beliau juga akan memperbandingkan sifat dasar antara laki‐laki dan perempuan. Lalu tentang fenomena sekarang, perempuan yang menuntut adanya kesetaraan juga akan dikupas dari sudut pandang beliau sebagai seorang akademisi yang fokus di kajian Psikologi Gender. Beliau sendiri, merupakan Dosen di Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
Sebagai pemateri di sesi terakhir, adalah Al-Ustadzah Azizah Ummu Yasir. Dalam forum ini nanti, beliau akan membahas tentang “Perempuan dalam Naungan Al Qur’an dan As-Sunnah”. Tentang bagaimana Islam memperlakukan perempuan; lalu tentang posisi laki‐laki dan perempuan dalam Islam yang sering disalah‐artikan oleh para pejuang kesetaraan gender dan yang lain, akan disampaikan oleh beliau, insyaAllah. Beliau sendiri merupakan lulusan dari Institut Daarul Hadits Yaman, selain juga beliau sempat aktif sebagai pengajar di sebuah Madrasah di sana. Sekarang, beliau aktif sebagai konsultan dan pemerhati masalah remaja dan rumah tangga. Beliau juga mengasuh sebuah website – www.mutiaraHikmah.com -tempat beliau berbagi ilmu dan juga menjawab pertanyaan‐pertanyaan para penanya terkait permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan hukum Islam. Beliau juga aktif mengisi kajian‐kajian di beberapa kampus di Yogyakarta dan sekitarnya.
Ada pun penyelenggaraan seminar ini bertempat di Gedung Kuliah Umum (GKU) dr. Sardjito yang berlokasi di komplek Universitas Islam Indonesia yang beralamat di Jalan Kaliurang KM 14,5 Sleman, DIY. Waktu penyelenggaraan akan dimulai, insyaAllah, pada pukul 8.00 WIB sampai dengan pukul 11.30 WIB.
Bagi Anda yang berminat untuk mengikuti jalannya seminar ini, terlebih dahulu Anda dapat mendaftarkan diri Anda dengan cara mengirimkan pesan singkat (SMS) dengan format : KODISIA_Nama Lengkap_Jurusan‐Universitas/Instansi ke nomor 085729352440 (Untuk Putra) atau 085727955909 (Untuk Putri).
Sifat acara ini terbuka untuk Umum Putra dan Putri dan GRATIS! Ada pun fasilitas yang akan diperoleh antara lain: Sertifikat, Seminat Kit, Snack, Ilmu, dan Teman Baru. Kami tunggu partisipasi Anda dan jangan sungkan mengajak teman‐teman Anda.
kesehatan reproduksi renaja

Menjaga Kesehatan Reproduksi Secara Islami (2)

Materi Seminar Kemuslimahan (Bag. 4)
“Reach Your True Beauty”

Menjaga Kesehatan Reproduksi Secara Islami (2)

Dengan hikmahNya, Alloh `Azza Wa Jalla telah mengkaruniakan kepada umat manusia sebuah kemampuan bereproduksi agar terhindar dari kepunahan dan dapat meneruskan fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Tidak cukup hanya sampai di sini saja, perhatian Islam pun akan masalah reproduksi beserta hal-hal yang dapat menjaga kesehatan reproduksinya tersebut juga begitu besar, yang setidaknya hal tersebut dapat tercermin dalam beberapa konsep berikut :
……………………………………………………………………………..

Keempat :
Larangan untuk menyetubuhi istri di dubur.

Allah `Azza wa Jalla berfirman,
((نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ))
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” (QS. Al Baqarah: 223).
Yang namanya ladang (tempat bercocok tanam) pada wanita adalah di kemaluannya yaitu tempat mani bersemai untuk mendapatkan keturunan. Ini adalah dalil bolehnya menyetubuhi istri di kemaluannya, terserah dari arah depan, belakang atau istri dibalikkan”. (Lihat: Syarh Muslim: 10/6)
Sedangkan hadits yang mendasari larangan untuk mendatangi istri di dubur adalah sabda Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا))
“Benar-benar terlaknat orang yang menyetubuhi istrinya di duburnya.” (HR. Ahmad 2: 479)
((مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-))
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. hadits shahih).
Secara umum dapat kita simpulkan bahwa ancaman yang datang dari dua hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa besar karena disertai laknat (jauh dari rahmat Allah) dan dihukumi sebagai suatu perbuatan kekufuran.
Ibnu Taimiyah berkata: “Seks anal tidak dipungkuri lagi termasuk jenis liwath (sodomi). Menurut madzhab Abu Hanifah, Syafi’iyah, pendapat Imam Ahmad dan Hambali, perbuatan seks anal ini haram hukumnya, tanpa adanya perselisihan di antara mereka. Dan ini juga merupakan pendapat dari Imam Malik dan pengikutnya.” (Lihat: Majmu’ Al Fatawa : 32/268)

Kelima :
Larangan untuk berhubungan seksual ketika istri sedang haid.

Alloh `Azza Wa Jalla pernah berfirman terkait dengan hal ini :
{وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ}
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu..” (QS. Al-Baqarah: 222).
Ibnu Taimiyah berkata: “Allah Ta’ala sendiri mengharamkan menyetubuhi wanita haid karena adanya darah haid di kemaluaannya”. (Lihat: Majmu’ Al Fatawa : 32/267)

Keenam :
Anjuran untuk Menyusui.

Allah `Azza Wa Jalla pernah berfirman,
{وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ}
“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan….” (QS. Al-Baqarah: 233).
Hal ini selain dalam rangka memberikan hak si bayi atas ASI eksklusif secara sempurna di dua tahun pertamanya yang sangat besar manfaatnya bagi kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan bayi. Dan ternyata hal ini juga disinyalir dapat mengurangi risiko penyakit kanker payudara, dan dapat juga dijadikan sebuah langkah antisipatif untuk mengurangi kemungkinan yang tidak diinginkan seperti meninggalnya ibu tersebut ketika melahirkan karena kondisi fisiknya yang terlalu lemah atau kondisi organ reproduksi yang masih belum cukup pulih.

Ketujuh :
Anjuran bagi para wanita untuk mengatur jarak kelahirannya.

Jarak kehamilan yang terlalu dekat akan berdampak negatif terhadap kesehatan alat reproduksinya yang idealnya diberikan waktu yang mencukupi untuk memulihkan kondisinya dengan sempurna. Yang pada dasarnya, semuanya ini telah diisyaratkan dengan begitu halus dalam firmanNya,
{وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ}
“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh yaitu yang bagi ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al-Baqoroh : 233).
{وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا}
“Mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan” (QS. Al-Ahqof : 15)
Dan dalam syariat Islam juga dikenal dengan yang dinamakan `Azl (Coitus Interruptus/ senggama terputus), yaitu mencabut setelah memasukkan (kemaluannya) untuk mengeluarkan mani di luar vagina (Lihat: Fathul Baari:9/305). Terkait dengan hal ini, terdapat sejumlah hadits yang menerangkan atas bolehnya mengatur jarak kelahiran, terutama lewat metode `azl , di antaranya:
Pertama, dari Jabir radiyallohu `anhu, ia menuturkan :
((‏كُنَّا ‏ ‏نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ))
“Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Bukhori)
Kedua, juga dari Jabir radiyallohu `anhu, ia mengatakan:
((‏كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ‏‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ))
“Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan (ayat-ayat) al-Qur’an (masih) turun.” (Muttafaqun `alaihi)
Ketiga, masih dari Jabir radiyallohu `anhu, dia mengatakan:
((كنا نعزل على عهد رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، فبلغه ذلك فلم يمنعنا))
“Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu hal itu sampai (terdengar) kepada Nabi Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak melarang kami.” (HR.Muslim)
Dan sebagai penutup, semoga beberapa konsep yang telah kami jabarkan diatas akan semakin menambah kepedulian kita akan kesehatan tubuh dan kesehatan alat reproduksi kita sendiri yang begitu benilainya. . Wallahu a’lam…

kesehatan reproduksi

Menjaga Kesehatan Reproduksi Secara Islami (1)



Materi Seminar Kemuslimahan (Bag.3)
“Reach Your True Beauty”

Menjaga Kesehatan Reproduksi Secara Islami (1)

Dengan hikmahNya, Alloh `Azza Wa Jalla telah mengkaruniakan kepada umat manusia sebuah kemampuan bereproduksi agar terhindar dari kepunahan dan dapat meneruskan fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Tidak cukup hanya sampai di sini saja, perhatian Islam pun akan masalah reproduksi beserta hal-hal yang dapat menjaga kesehatan reproduksinya tersebut juga begitu besar, yang setidaknya hal tersebut dapat tercermin dalam beberapa konsep berikut :

Pertama    :
Dorongan untuk senantiasa menjaga kebersihan (secara Fisik)

Dalam sebuah hadist disebutkan :
((الطُّـهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ))
“Kesucian adalah setengah dari iman” (HR. Muslim)
Disinilah, jelas bahwa ajaran bersuci (thaharah) dalam Islam ini juga mencakup perintah untuk senantiasa menjaga kebersihan secara mutlak. Bahkan kebersihan disini termasuk tanda-tanda dari sebuah keimanan yang ada dalam hati seorang hamba, tidak terkecuali perhatian terhadap kebersihan serta kesehatan pada alat reproduksi.

Kedua        :
Dorongan untuk menjaga kebersihan hati dengan Menikah

Apabila seorang pria dan wanita sudah mencapai usia kedewasaannya (baligh), maka keduanya sangat dianjurkan untuk mempercepat proses pernikahannya. Karena hal ini adalah salah satu bentuk perlindungan agar reproduksi menjadi sehat dan bertanggung jawab. Rosululloh bersabda :
 يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرجِ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka segeralah menikah,
karena nikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan (kemaluan).” (Muttafaqun `Alaihi)

Ketiga        :
Larangan untuk mendekati perbuatan zina

Alloh Ta`ala berfirman :
{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا}
“Dan janganlah kalian mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa’: 32)
Yaitu, “Bahwa larangan mendekati zina lebih mengena ketimbang larangan melakukan perbuatan zina, karena larangan mendekati zina mencakup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Barangsiapa yang mendekati daerah larangan, ia dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya, terlebih lagi dalam masalah zina yang kebanyakan hawa nafsu sangat kuat dorongannya untuk melakukan zina.” (Lihat: Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal.457)
Bisa kita bayangkan… Mendekati serta melakukan hal-hal yang dikhawatirkan dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan zina saja dilarang, apalagi kalo sampai melakukannya ??
Hal tersebut dipertegas dan diperjelas dengan larangan untuk berdua-duaan (ikhtilat) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom, sebagaimana disebutkan dalam hadist :
((لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ ، وَلاَ تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ ))
“Janganlah  seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan di tempat yang sepi kecuali ada mahram baginya”. (HR. Bukhari).
Dan telah jelas bahwa pelarangan ini pada dasarnya merupakan tindakan preventif untuk mencegah perzinaan, yaitu hubungan seksual di luar pernikahan yang merupakan perbuatan terlarang. Karena sebuah perzinahan selain menimbulkan dosa, perbuatan tersebut juga dapat menyebabkan kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy) yang pada umumnya berujung kepada praktik aborsi yang dapat memicu munculnya berbagai penyakit yang terkait dengan organ reproduksinya kelak.
Selain itu, bagi seorang wanita, sebuah perzinaan dapat menimbulkan kerentanan atas tindakan kekerasan seksual, misalnya, pelecehan seksual dan kekerasan dalam masa pacaran. Belum lagi jika disertai dengan fenomena gonta-ganti pasangan baik dengan cara ‘jajan’ dan perselingkuhan yang sangat beresiko tinggi dalam penularan berbagai penyakit menular seksual terutama HIV AIDS yang sampai pada saat ini belum ditemukan obatnya. Sedangkan perempuan sendiri relatif lebih berisiko tertular karena bentuk alat reproduksinya bersifat lebih terbuka sehingga sangat rentan tertular berbagai PMS (Penyakit Menular Seksual).
Dan sekali lagi, pelarangan ini menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap kesehatan reproduksi wanita. Setidaknya hal tersebut dapat melindungi serta menjamin hak-hak kaum wanita agar dapat menjalankan fungsi reproduksinya secara sehat dan bertanggung jawab.

bersambung….

jalan sehat

Sehat Yang Islami Itu …



Materi Seminar Kemuslimahan (Bag.2)
“Reach Your True Beauty”

 Sehat Yang Islami Itu …


Pertama         :
Islam begitu menghargai arti dari sebuah kesehatan.

Islam juga memandang bahwa kesehatan merupakan salah satu hal yang sangat vital dalam kehidupan manusia, karena kesehatan merupakan salah satu modal terbesar yang dimiliki oleh seseorang dalam mencapai kehidupan yang bahagia. Atas dasar inilah Rasulullah Shollallohu `Alaihi Wassalam telah mengingatkan ummatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
((اغتنمْ خَمْسًا قبلَ خَمْسٍ : اغتنمْ حَيَاتَكَ قبلَ مَوْتِكَ، وصِحَّتَكَ قبلَ سَقَمِكَ، وشَبَابَكَ قبلَ هَرَمِكَ، وغِنَاكَ قبلَ فَقْرِكَ، وفَرَاغَكَ قبلَ شُغْلِكَ))
“Perhatikanlah lima perkara ini sebelum datang lima perkara : Hidupmu sebelum datang ajalmu; Jagalah kesehatanmu sebelum datang sakitmu; Manfaatkan sebaik-baiknya kesempatanmu sebelum datang kesibukanmu; Manfaatkan masa mudamu sebelum datang masa tuamu; Manfaatkan kekayaanmu sebelum datang masa fakirmu.” (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Disini Rosululloh Shollallohu `Alaihi Wassalam memperingatkan ummatnya untuk senantiasa menjaga nikmat kesehatan yang kita miliki dengan sebaik mungkin selama hayat dan sehat masih dikandung badan. Karena harta benda, jabatan, serta kedudukan seseorang tidak ada terasa bernilai sedikitpun juga apabila jasmani dan rohani dalam keadaan sakit. Jadi, kondisi jasmani dan rohani yang sehat merupakan pangkal dari kebahagiaan seseorang.
Dan dari sini nampak jelas bahwa kesehatan -baik jasmani atau rohani- merupakan salah satu nikmat dan rahmat Allah `Azza wa Jalla yang begitu besar, yang terkadang banyak kita lalaikan. Kita baru benar-benar merasakan nikmat tersebut setelah datangnya penyakit yang menimpa diri kita.
((نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ))
“Dua kenikmatan yang sering dilupakan banyak orang : Kesehatan dan waktu luang” (HR.Bukhori)

Kedua             :
Kesehatan jasmani dan kesehatan rohani merupakan syarat mutlak untuk mencapai kehidupan yang sejahtera di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Atas dasar inilah, Syariat Islam mengajarkan prinsip-prinsip kesehatan, kebersihan dan kesucian lahir batin. Sebagai contohnya, sistem kesehatan dalam Islam tercermin dalam ajaran syariat yang mewajibkan para pemeluknya untuk senantiasa membersihkan dirinya dari berbagai kotoran (najis) serta ketidaksucian (hadas), dengan sebuah paket ibadah seperti wudhu, mandi, shalat dan lain sebagainya.

Ketiga             :
Seorang Muslim yang sakit diperintahkan untuk pergi berobat dalam rangka mengambil sebab yang bisa membawa kepada kesembuhannya.

Sebagaimana yang pernah di sabdakan oleh Nabi kita Shollallohu `Alaihi Wassalam :
 تَدَاوَوْا عِبَادَ اللَّهِ ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يُنْزِلْ دَاءً إِلا وَقَدْ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً إِلا هَذَا الْهَرَمِ
“Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali telah diturunkan pula obatnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua (pikun).” (HR.Ahmad, Ibnu Hibban,Hakim)

bersambung…





Reach Your  True Beauty

“Reach Your True Beauty”

Materi Seminar Kemuslimahan :
“Reach Your True Beauty”

Universalitas Syariat Islam sebagai Rahmatan Lil `Alamin

Islam sebagai ad-Dien merupakan pedoman hidup yang mengatur dan membimbing manusia yang berakal untuk menggapai kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Syariat Islam adalah pedoman yang sempurna. Hanya saja kesempurnaan Islam ini hanya bisa kita rasakan dalam kehidupan jika kita pun melaksanakannya secara sempurna. Allah Ta’ala berfirman :
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا}
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Maidah : 3)
“Ini merupakan nikmat Allah yang terbesar bagi ummat ini, dimana Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada selain agama Islam dan tidak butuh kepada Nabi selain Nabi mereka shalawatullahi wasalaamu alaihi. Karena itulah Allah menjadikan Nabi ummat ini (Muhammad shallallahu alahi wasallam) sebagai penutup para Nabi dan Allah mengutusnya untuk kalangan manusia dan jin, maka tidak ada perkara yang haram kecuali apa yang dia haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang dia syariatkan” (Tafsir Al-Quranul Adzim 3/14).
Sampai-sampai dikabarkan bahwa telah datang seorang Yahudi kepada Umar Ibnul Khattab Radhiyallahu ‘anhu lalu ia pun berkata : “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya ayat ini : “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.”… turun atas kami, niscaya kami akan jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai hari raya. Maka Umar menjawab : “Sesungguhnya aku tahu pada hari apa turun ayat tersebut, ayat ini turun pada hari Arafah bertepatan dengan hari Jum’at.” (HR.Bukhari).
Benar, bahwa sisi-sisi kehidupan manusia sekecil apapun telah menjadi perhatian Islam, termasuk dalam hal ini yang berkaitan dengan kesehatan. Ia merupakan nikmat dari Allah yang luar biasa nilainya, karena itu ia merupakan amanah yang menjadi kewajiban bagi setiap pribadi untuk menjaganya dengan memelihara kesehatan secara sungguh-sungguh.

bersambung…


Reach Your True Beauty

Reach Your True Beauty

Jangan Lewatkan :

Seminar Kemuslimahan Kesehatan Reproduksi Dengan Tema :
.:: Reach Your True Beauty ::.

Bersama :

Pemateri Pertama : dr. Beta Andewi RA

Dengan Materi :
- Arti Penting Kesehatan Reproduksi
- Cara Menjaga Kebersihan Organ Reproduksi
- Cara Mendeteksi Serta Mengantisipasi Gangguan Pada Organ Reproduksi

Pemateri Kedua :  Al-Ustadzah Ummu Yasir
.:: Muslimah Inspirator ::.

Dengan Materi :
- Arti Penting Kesehatan Reproduksi Bagi Wanita Menurut Fiqih Islam
- Bagaimana Fiqih Islam Mengulas Kesehatan Reproduksi Wanita
Fasilitas :
Make Up Kit
Sertifikat
Lunch
Snack
Tempat/Waktu Pelaksanaan :
Jum`at, 7 Desember 2012
Pukul 12.00 s.d. 17.00 WIB
Di Ruang Multimedia Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Informasi & Pendaftaran :
Sekretariat KMFH UGM
CP : 0856 4232 3469
Keterangan :
Makalah Seminar Dapat Di Unduh Di Situs :
www.mutiaraHikmah.com
(Setelah Hari-H)

malu bukan pemalu

Antara “Sifat Malu” Dengan “Pemalu”




Materi Kajian Ilmiyah Muslimah Ibnu Sina (KISMIS)
“Karena Kau Begitu Indah”

Ketika kita membahas mengenai sosok seorang Wanita, maka pada hakikatnya kita akan membahas mengenai sebuah keindahan. Kaum hawa adalah sosok yang diciptakan dengan berbagai keindahan, yang tentunya dengan sebuah konsekwensi logis bahwa keindahan tersebut haruslah tetap terjaga didalam bingkai yang benar agar senantiasa tetap diatas fitrahnya.
Diibaratkan sekuntum mawar yang begitu indah, yang menarik siapapun juga untuk memetik serta merampas  keindahannya. Di setiap kuntum mawar senantiasa menyertai bersamanya duri-duri tajam yang siap untuk menjaganya. Dan begitulah gambaran dari sosok seorang wanita sholihah yang ingin terjaga keindahannya. Dia harus senantiasa membiasakan dirinya untuk berpegang pada syariat-syariat Islam dan hidup di dalam bingkai-bingkainya yang akan menjaganya dan menjauhkannya dari berbagai hal yang dapat merobek serta merampas keindahannya tersebut.
…………………………………………………………………

Antara Malu Dengan Pemalu

Perlu kita ketahui bahwa malu bukan berarti pemalu. Dan malu jelas bukan merupakan sesuatu yang memalukan. Diantaranya keduanya memiliki perbedaan yang sangat signifikan dan tidak akan pernah bertemu pada tempat yang sama.
Sifat pemalu adalah penyakit jiwa dan lemahnya kepribadian seseorang akibat rasa malu yang berlebihan dan bukan pada tempatnya. Sifat malu yang kita maksudkan disini bukanlah sifat pemalu yang justru menghalangi seorang muslimah untuk terus belajar, memperbaiki dirinya, serta menyuarakan kebenaran.
Cobalah untuk memetik mutiara hikmah dari kisah Ummu Sulaim Al-Anshariyah. Dikabarkan oleh Zainab binti Abi Salamah, dari Ummu Salamah Ummu Mukminin berkata, Suatu ketika Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,
Ù‹Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran.
Apakah seorang wanita harus mandi bila bermimpi?
Rasulullah menjawab, Ya, bila ia melihat air (keluar dari kemaluannya karena mimpi).(HR. Bukhari)
Namun sangat disayangkan ketika pada saat ini banyak sekali dari muslimah yang salah kaprah dalam menempatkan rasa malunya, terutama dalam urusan pergaulan dengan lawan jenisnya. Kita bisa melihat, begitu mudahnya sebagian dari para muslimah yang menyambut uluran tangan dari seorang pria dan bersalaman dengan seseorang yang bukan mahramnya. Dan ketika diingatkan, dengan entengnya diantara merekapun menjawab, “Saya malu jika harus menolak uluran tangannya”. Bahkan tidak jarang ada pula yang bersalaman plus cium pipi kanan cium pipi kiri. Dan ketika mereka diingatkan, dengan entengnya merekapun menjawab, ”Saya malu kalo nanti dibilang dibilang kuper (kurang pergaulan), ndak gaul”. Jelaslah disini ada sebuah kesalahan dalam menempatkan rasa malu. Dan beginilah jikalau jika urat malu sudah putus bahkan hilang sama sekali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

Bila kamu tidak malu, lakukanlah apa saja yang kamu inginkan (HR. Bukhari).
Wanita yang beriman adalah wanita yang senantiasa memupuk sifat malu yang ada didalam dirinya agar dapat membuahkan hasil yang manis bagi dirinya kelak. Sifat malu akan senantiasa nampak secara dhohir/ fisik dalam diri seseorang, misalnya saja pada cara dia berbusana. Rasa malunya akan mendorongnya untuk selalu  mengenakan  busana yang dapat menunjang ketakwaannya, yaitu busana yang dapat  menutupi auratnya secara sempurna.
Bukan itu saja, menundukkan pandangan juga bagian dari rasa malu. Sebab, bisa saja sebuah tatapan mata yang menggoda akan dapat melahirkan sejuta bahasa dan makna yang menggetarkan hati setiap pria. Oleh karena itulah, Allah `Azza Wa Jalla memerintahkan kepada setiap pria dan setiap wanita untuk menundukkan sebagian pandangan mereka.
Namun, itu semua bukan berarti bahwa Islam mengekang dan tidak memberikan ruang sedikitpun juga bagi seorang wanita. Wanita bisa terlibat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, keilmuan, dan berbagai aktivitas positif lainnya. Namun Islam memberikan beberapa rambu-rambu dalam bentuk adab dan etika. Dan diantara adab dan etika tersebut adalah sifat malu yang senantiasa harus dijaga dan dijunjung tinggi oleh setiap wanita muslimah yang sholihah, yang meyakini bahwa Allah `Azza Wa Jalla melihat setiap tingkah laku dan bisikan hati yang tersirat didalam jiwanya.
Dan disinilah kemudian sisi keindahan dari sosok seorang wanita akan tetap terjaga bilamana semuanya itu terjaga diatas fitrahnya yang lurus yang tercerahkan dibawah rambu-rambu Ilahi. Syariat Islam yang mulia begitu menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang wanita, dan syariat Islam tidaklah sama sekali merendahkan kedudukannya sebagaimana kita dapatkan dalam syariat-syariat agama lain.

bersambung………